MARGASARI – Komisi III DPRD Kabupaten Tegal menilai ada salah persepsi dalam pembangunan pasar-pasar tradisional. Pasalnya, sejumlah pasar tradisional yang dibangun semuanya terdapat tempat jualan lemprakan (loos) besar. Padahal, pasar tradisional seharusnya dibangun lebih modern untuk menghindari kekumuhan.
“Selama ini, pasar tradisional persepsinya harus ada jualan lemprakan. Padahal, arti pasar tradisional tidak seperti itu,” kata Wakil Ketua Komisi III DPRD Kabupaten Tegal, M Khuzaeni, kemarin.
Dikatakan, kunjungan Komisi III dilakukan untuk menindaklanjuti masukan masyarakat dalam proses pembangunan Pasar Margasari, baru-baru ini. Dalam kunjungan yang dipimpin Ketua Komisi III Bambang Romdhon Irawan itu, menemukan hal yang unik dalam pembangunan pasar tradisional. Selama ini, Komisi III menilai bahwa pembangunan pasar tradisional salah persepsi.
“Artinya pasar tradisional itu ada transaksi tawar menawar. Kalau pasar modern harga sudah tidak bisa ditawar. Tapi, persepsi Pemkab bahwa pasar tradisional harus ada tempat jualan lemprakan,” ujar politisi Golkar yang akrab disapa Jeni itu.
Ia menuturkan, dari sejumlah pasar yang dibangun, hampir semuanya model sama, yakni ada tempat jualan lemprakan yang dikelilingi kios-kios. Model pasar itu mengadopsi pasar tradisional yang lama. Padahal, model pasar seperti itu berpotensi menjadi kumuh. Model pasar tradisional bisa dirubah menjadi lebih modern dengan dominasi kios-kios agar tidak terlihat kumuh.
“Pasar Margasari juga sama modelnya. Padahal, anggarannya cukup besar sekitar Rp 24 miliar,” ujarnya.
Menurut dia, di proses pembangunan Pasar Margasari, terdapat pilar-pilar besar dengan ukuran diameter sekitar 1 meter. Jumlah pilar-pilar besar itu jumlahnya mencapai belasan. Padahal, bangunan itu hanya loos yang dinilai tidak membutuhkan pilar besar yang didalamnya besi-besi besar.
“Jika pilar-pilar itu tidak terlalu besar, mungkin bisa dibuat beberapa kios. Ini akan lebih bermanfaat,” ujar Sekretaris DPD Partai Golkar Kabupaten Tegal itu.
Selain itu, lanjut dia, pondasi bangunan juga seperti membuat bangunan tinggi dengan kedalaman pondasi cukup dalam. Hal itu membuat tanah urugan yang dibutuhkan sangat banyak. Dikatakan, anggaran untuk tanah urugan mencapai Rp 1,2 miliar.
“Ini hanya masukan untuk pembangunan kedepan agar lebih efisien dan efektif,” tegasnya. (adm)
Discussion about this post